Ketika harga Bitcoin kembali memecahkan rekor di Rp1,7 miliar per koin, banyak orang tua terpesona—“Wah, andai saya beli dulu!” Namun pertanyaan pentingnya: bagaimana kita mengajarkan anak disiplin, agar mereka siap menghadapi dunia yang serba cepat ini? Kabar baiknya, Anda tidak perlu memborong aset digital. Cukup satu solusi teknologi sekolah untuk membentuk kedisiplinan tanpa perlu membentak!

Continue Reading

Pak Rudi, kepala sekolah di sebuah SMP negeri di Jawa Timur, sedang memandangi meja kerjanya. Ada tumpukan laporan keuangan menunggu ditandatangani. Sementara itu, HP-nya terus berdering: pertanyaan dari bendahara yayasan, komite sekolah, dan Dinas Pendidikan. Semua ingin satu hal: laporan keuangan lengkap dan transparan.

Ia menarik napas dalam. “Andai semua ini bisa otomatis dan akurat, aku bisa fokus pada program peningkatan mutu belajar,” gumamnya.

Continue Reading

Minggu pagi, Bu Lilis sedang duduk santai sambil menyeruput kopi. Tiba-tiba, notifikasi masuk di HP-nya: “Nilai Matematika Fahri: 92 – Selamat!”
Matanya membesar, hatinya hangat. “Wah, anakku makin rajin belajarnya!” gumamnya.
Tapi bukan itu yang paling mengejutkan. Yang membuat Bu Lilis tak berhenti tersenyum adalah: ia menerima notifikasi itu dari aplikasi sekolah anaknya, secara real-time.
Namun sayangnya, tidak semua sekolah di Indonesia sudah bisa begini.

Continue Reading

(“Pak, saya nggak mau jadi dokter atau guru. Saya mau jadi data scientist atau game developer aja,” ujar Raka, siswa kelas 9, penuh keyakinan.)

Mendengar ucapan itu, Pak Arman—kepala sekolah di sebuah SMP swasta—sempat terdiam. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar cita-cita yang “tidak biasa” dari muridnya. Tapi kali ini terasa berbeda. Raka tampak sungguh-sungguh. Ia bahkan sudah mulai belajar coding di luar jam sekolah.

Sore itu, sepulang dari sekolah, Pak Arman membaca kabar di media online tentang pamitnya Kevin De Bruyne dari Manchester City. Tapi yang membuatnya tercenung bukan soal sepak bola, melainkan perubahan besar-besaran di berbagai bidang—termasuk dunia olahraga—akibat transformasi digital. Statistik pemain, analisis pertandingan, hingga strategi latihan kini sangat bergantung pada teknologi dan kecerdasan buatan.

Continue Reading

Saat ribuan driver ojol turun ke jalan hari ini—mendemonstrasikan keresahan dan tuntutan mereka di depan Istana dan DPR (sumber Detik.com)—satu hal jadi sangat jelas: dunia kerja sedang bergerak cepat ke arah digital, fleksibel, dan efisien. Bukan cuma di sektor transportasi. Bahkan di dunia pendidikan, perubahan itu sudah terasa. Dan pertanyaannya sekarang:

Kenapa guru masih harus datang ke sekolah hanya untuk input nilai di Excel?

Continue Reading

Lionel Messi sampai bengong lihat gawang Inter Miami kebobolan hanya dalam 34 detik. Reaksinya viral di media sosial. Tapi kalau kita jujur, banyak guru dan staf sekolah juga sering bengong sendiri—bukan karena gol cepat, tapi karena deadline laporan, nilai, dan administrasi sekolah yang numpuk padahal jam pelajaran baru selesai.

Kenapa di zaman secanggih ini, urusan sekolah masih seribet itu?

Continue Reading

Induk gajah itu berdiri tak bergeming. Anaknya mati ditabrak truk. Dunia mengasihani, namun dia tak bisa beranjak. Ia menunggu... sesuatu yang takkan kembali.

Viralnya peristiwa ini bukan hanya menyayat hati, tapi juga menyentil banyak dari kita—yang masih bertahan di tempat yang seharusnya sudah kita tinggalkan. Termasuk dalam dunia pendidikan.

Continue Reading

Seorang guru bercerita sambil tersenyum pahit:
"Bayangkan, saya ingin ikut cicil emas di Pegadaian seperti berita viral itu. Tapi mau investasi aja rasanya nggak sempat mikir—waktu saya habis buat isi absen, input nilai, dan berkas-berkas manual tiap hari!"

Kisah ini nyata. Dan bukan cuma satu dua guru yang mengalaminya.

Di saat orang lain mulai investasi emas, bonus asuransi, atau bahkan healing ke luar kota, guru dan staf sekolah masih berkutat di dunia spreadsheet, berkas tebal, dan double entry.

Continue Reading