Squid Game di Sekolah? Kepemimpinan Transformatif Bukan Tentang Jabatan, Tapi Visi!

Yogyakarta – Musim ketiga Squid Game di Netflix kembali mencuri perhatian. Bukan hanya karena plot-nya yang mencekam, tapi juga karena pesan tersirat tentang kepemimpinan, kontrol, dan keberanian mengambil risiko. Di dunia pendidikan, permainan yang tampak seperti aturan kaku dan sistem baku juga tengah berlangsung—dan taruhannya adalah masa depan anak-anak Indonesia.

Pertanyaannya, siapa yang akan memimpin agar sekolah tak menjadi arena survival, tapi ekosistem pembelajaran yang hidup?

Di era sekolah gratis pasca keputusan Mahkamah Konstitusi, tekanan terhadap sekolah semakin kompleks. Kepala sekolah tak lagi hanya dituntut menjalankan aturan, tapi juga menciptakan terobosan agar operasional tetap berjalan tanpa membebani orang tua.

 

Kepemimpinan Transformatif: Menyalakan Visi, Bukan Menunggu Perintah

Menurut Gloria Sarasvati Anindya, Konsultan Pendidikan dari Kamadeva Coaching Academy, "Kepemimpinan transformatif adalah tentang membangkitkan makna, bukan sekadar menaati SOP. Ini soal membuat semua pihak di sekolah merasa terlibat, hidup, dan punya tujuan bersama."

Dalam pengalamannya mendampingi ratusan sekolah selama 25 tahun, Gloria menekankan bahwa pemimpin sekolah harus mampu mengubah pola pikir guru dan staf: dari sekadar pekerja, menjadi penggerak.

Apa Ciri Kepemimpinan Transformatif?

  1. Berani Mengambil Risiko Inovasi
    Seperti dalam Squid Game, setiap keputusan punya konsekuensi. Tapi pemimpin yang visioner tahu kapan saatnya keluar dari pola lama. Misalnya, mengadopsi Sistem Informasi Sekolah untuk mempercepat layanan.

  2. Menyalakan Energi Guru dan Staff
    Guru dan tenaga kependidikan adalah ujung tombak. Melalui Manajemen Sekolah Digital, pemimpin bisa memastikan bahwa semua memiliki akses informasi, ruang refleksi, dan kejelasan peran.

  3. Menjadikan Teknologi sebagai Infrastruktur Budaya
    Gunakan Aplikasi Sekolah Terintegrasi untuk menciptakan budaya kerja yang transparan, kolaboratif, dan terukur. Kepemimpinan transformatif tak sekadar memberi perintah, tapi memberi akses dan dukungan.

  4. Fokus pada Nilai, Bukan Sekadar Target
    Membangun budaya sekolah dimulai dari hal-hal kecil: cara menyapa, ruang diskusi, hingga pola evaluasi. Dengan Administrasi Sekolah Online, semua nilai itu bisa diukur, dirayakan, dan dijadikan umpan balik.

  5. Mendorong Kemandirian Sekolah secara Finansial
    Tanpa pungutan, sekolah tetap bisa berdaya lewat strategi fundraising, kolaborasi dengan alumni dan dunia usaha. Gunakan Software Sekolah 4.0 untuk merancang skema pendanaan yang akuntabel dan berkelanjutan.

Squid Game Bisa Jadi Cermin

Dalam Squid Game, banyak karakter ikut permainan karena tak punya pilihan. Di sekolah, kita tak ingin siswa dan guru hanya bertahan. Kita ingin mereka tumbuh.

"Pemimpin yang baik tak sekadar mencari aman, tapi berani menyuarakan visi meski berbeda arus. Sekolah butuh pemimpin yang tak hanya hadir saat rapat, tapi hadir dalam setiap denyut semangat timnya," tegas Gloria.

Kesimpulan: Sekolah Bukan Arena, Tapi Taman Belajar

Kepemimpinan transformatif adalah seni menyalakan api—bukan hanya mengatur api tetap kecil. Di masa sulit seperti sekarang, peran kepala sekolah bukan sekadar pelaksana kebijakan, tapi penjaga nyawa budaya belajar.

"Jabatan bisa diwariskan. Tapi visi hanya bisa dinyalakan."
— Gloria Sarasvati Anindya, Konsultan Pendidikan dari Kamadeva Coaching Academy