Tanggal 15 Juni 2025 ini diperingati sebagai Hari Ayah Sedunia, momen yang bikin banyak ayah—termasuk yang mungkin sedang membaca artikel ini—merenung sejenak: Sudahkah aku memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anakku, tanpa harus memaksakan biaya selangit? Pertanyaan itu tak sekadar tentang angka, tapi tentang nilai: sekolah seperti apa yang layak didukung oleh seorang ayah yang peduli?
Banyak orang masih beranggapan bahwa sekolah gratis adalah sekolah yang murahan. Padahal, kenyataannya kini justru berbanding terbalik. Sekolah-sekolah visioner masa kini mulai membangun sistem fundraising bermartabat, yang bukan hanya mengandalkan bantuan, tapi justru mengundang kolaborasi aktif dari komunitas.
Salah satu contoh paling menginspirasi datang dari komunitas sekolah yang berhasil menggandeng para orang tua wiraswasta sebagai mitra. Para orang tua ini tidak hanya menyekolahkan anak-anak mereka, tapi juga ikut berinvestasi dalam ekosistem pendidikan yang kuat. Dalam konteks ini, menjadi kolaborator sekolah bukan hanya soal menyumbang, tapi membangun masa depan bersama.
“Kami tidak merasa sedang beramal. Kami justru merasa sedang menanam saham untuk peradaban,” ujar Pak Arif, seorang pengusaha kuliner yang kini menjadi sponsor tetap program literasi di sekolah anaknya.
Sekolah yang didukung sponsor seperti ini justru mampu menyelenggarakan berbagai program luar biasa: pelatihan softskill sejak dini, literasi digital, bahkan pengenalan bisnis untuk siswa. Lebih hebat lagi, sekolah tetap bisa membuka pintunya untuk anak-anak dari keluarga prasejahtera tanpa merasa ‘berat’.
Dan di balik kekuatan ini, ada sistem yang tertata rapi. Sekolah-sekolah seperti ini menggunakan manajemen sekolah digital dan sistem informasi sekolah untuk memastikan semua pihak—guru, orang tua, sponsor—bisa mengakses data dan perkembangan siswa secara real-time.
Dengan dukungan aplikasi sekolah terintegrasi dan software sekolah 4.0, proses transparansi keuangan, program, hingga perencanaan pendidikan menjadi jauh lebih efisien dan terpercaya. Tak ada cerita sumbangan "hilang tak tentu arah", karena semua tercatat dan terbuka.
Menariknya, anak-anak yang bersekolah di institusi seperti ini justru tumbuh dengan mentalitas kuat: belajar nilai-nilai kolaborasi, kepedulian sosial, dan tanggung jawab. Ketika sekolah punya mitra sponsor, anak juga belajar sejak dini bahwa keberhasilan bukan hanya tentang nilai ujian, tapi juga kemampuan menjalin sinergi.
Bagi para orang tua yang punya usaha, menjadi kolaborator sekolah juga membawa manfaat langsung: usaha mereka bisa terlibat dalam pengadaan, pelatihan, bahkan menjadi tempat magang anak-anak. Kolaborasi ini menciptakan ekosistem win-win yang luar biasa.
Dan semua itu bisa tetap dilakukan tanpa menghapus kata “gratis” dari sekolah tersebut. Karena sejatinya, sekolah gratis bukan berarti murahan—melainkan tempat di mana kebaikan dikonversi menjadi sistem yang berkelanjutan.
Apalagi dengan dukungan administrasi sekolah online yang membuat proses pendataan, distribusi bantuan, dan komunikasi makin cepat dan rapi.
Di Hari Ayah Sedunia ini, mungkin bukan hadiah mahal yang dibutuhkan oleh anak Anda. Tapi pilihan sekolah yang benar. Sekolah yang tidak hanya pintar mengajar, tapi juga cerdas membangun ekosistem.
Sekolah gratis yang mampu menciptakan perubahan, bukan dengan meminta-minta, tapi dengan mengundang kita semua untuk bergerak bersama. Dan percayalah, ketika Anda sebagai orang tua menjadi bagian dari perjalanan itu, Anda bukan sekadar menyekolahkan anak—Anda sedang menyiapkan pemimpin masa depan.