Kok Bisa AI Masih Belum Diterapkan Di Sekolah? Ini Kata Para Ahli Teknologi Pendidikan yang Bikin Kepala Sekolah Mikir Keras!

Di saat tim-tim besar seperti Al-Ahli dan Al-Riyadh adu strategi dengan teknologi dan statistik canggih di Liga Pro Saudi, sekolah-sekolah di Indonesia masih sibuk mencetak LKS dan ngurus absen manual. Ironis? Banget. Padahal tantangan masa depan jauh lebih kompleks—dan teknologi, khususnya AI, bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan mendesak.

 

AI di Kurikulum Bukan Sekadar Gaya-Gayaan

Arif Perdana, dosen Fakultas Teknologi Informasi di Monash University Indonesia, menyampaikan bahwa pembelajaran AI seharusnya dimulai sejak dini, tapi tentu dengan pendekatan yang tepat.

“Di SD, bisa lewat permainan logika. SMP pakai Scratch atau Blockly. Baru di SMA mulai masuk Python, dan diskusi etika penggunaan AI,” ujarnya.

Langkah bertahap ini penting untuk mencegah shock teknologi dan memastikan semua siswa—terutama di daerah—tidak merasa tertinggal atau kewalahan.


AI Perlu SDM & Infrastruktur, Bukan Sekadar Ganti Kurikulum

Menurut Prof. Suyanto, pakar Teknologi Pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta, mengintegrasikan AI ke kurikulum tak semudah membalik telapak tangan.

“Guru dulu yang harus paham. Sekolah perlu infrastruktur. Dan jangan lupa, etika teknologi juga harus jadi bagian dari pelajaran,” tegas beliau.

Beliau menambahkan bahwa pelatihan guru dan kesiapan digital sekolah sangat menentukan keberhasilan integrasi ini. Di sinilah peran sistem informasi sekolah dan aplikasi sekolah terintegrasi jadi sangat krusial.


Harvard Bicara: AI Meningkatkan Empati Guru

Dari kancah global, Ying Xu, asisten profesor di Harvard Graduate School of Education, menyebut bahwa AI bukan hanya soal otomatisasi, tapi juga alat untuk meningkatkan empati guru pada siswa.
Dengan sistem pembelajaran adaptif berbasis AI, guru bisa memahami kebutuhan masing-masing anak secara personal.

“AI bisa bantu guru mendeteksi perubahan emosional siswa, mengenali pola belajar, dan menyarankan pendekatan yang lebih efektif,” jelas Xu.


Bukan Khayalan, Sudah Banyak yang Mulai

Patrick Winston (almarhum), ilmuwan AI legendaris dari MIT, bahkan pernah berkata:

“Teaching AI without teaching how to think about thinking is like teaching grammar without teaching writing.”

Pendidikan AI tidak hanya soal coding, tapi soal membentuk cara berpikir baru: logis, etis, dan kritis. Maka penting juga diintegrasikan lewat manajemen sekolah digital agar proses tidak parsial.


Ahli Indonesia Lainnya Pun Mendukung

Dr. Widi Nugroho, Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek, pernah menyebut bahwa AI akan masuk sebagai salah satu tema dalam pembelajaran lintas mata pelajaran. Bukan hanya di TIK, tapi juga di bahasa, IPS, bahkan agama.

Sementara Abdul Mu’ti, Sekjen PP Muhammadiyah, menyarankan bahwa pendidikan kita tidak boleh sekadar adaptif, tapi juga antisipatif.

“AI harus diajarkan bukan hanya agar anak ‘melek teknologi’, tapi agar punya daya saing global,” ungkapnya.


Penutup: Ayo Kepala Sekolah, Waktunya Bergerak!

Kalau klub sepak bola bisa memprediksi hasil pertandingan lewat statistik dan AI (seperti dalam prediksi Al-Riyadh vs Al-Ahli), masa sekolah masih ragu mau pakai software sekolah 4.0?

Sekolah yang tanggap zaman bukan yang paling canggih fasilitasnya, tapi yang paling cepat beradaptasi. AI bukan cuma alat bantu—ia adalah masa depan cara kita belajar dan mengajar.