Apakah mudah kembali ke Jaman Purba?

Beberapa saat lalu kita mengalami masa eforia… masa kegembiraan yang hampir 2 tahun kita dihadapkan pada situasi pandemi yang mengharuskan mengubah seluruh tata cara kehidupan. Dan tak bisa dielakkan lagi hal ini juga kena pada situasi di dunia pendidikan. Khususnya sekolah-sekolah harus di tutup dan melakukan pembelajaran secara online. Waktu awal pandemi banyak yang jadi bingung karena dipaksa keadaan untuk bisa serba online (baca: digital). Dan akhirnya tak bisa ditolak, suka maupun tidak suka, digitalisasi sekolah harus dilaksanakan.

Bagi sebagian besar guru yang nyaman dengan offline harus berjuang 2x lebih berat. Perjuangan pertama adalah melawan dirinya sendiri yang tidak suka online atau serba digitalisasi. Setelah itu perjuangan kedua yaitu harus melatih diri untuk bisa menggunakan aplikasi dan lainnya yang serba online. Bisa Anda bayangkan betapa beratnya mereka harus mengubah diri.

 

Apalagi ada tuntutan dari pemerintah yang harus membuat silabus hanya 1 lembar saja. Banyak yang bingung, materi 1 semester atau ada juga yang 1 tahun harus dijelaskan dalam silabus 1 lembar. Sementara mereka (para guru) terbiasa membuat silabus itu berlembar-lembar. 

Kami bisa membayangkan dan melihat sendiri bagaimana seorang guru yang sudah terbiasa kelas offline harus melakukannya secara online. Ada yang belajar onlinenya memakai google classroom, zoom dan media lainnya. Bahkan cara mengajarnya juga hanya seperti memindahkan kelas offline seperti biasanya menjadi pengajaran online.

Pengajaran online itu bukan hanya meningkat waktu yang biasanya 45 menit setiap 1 jam pelajaran (untuk jenjang SMP dan SMA) menjadi 30 menit. Bukan juga semua bahan ajar di bahas dalam kelas online.  

Sehingga bila masih melakukan hal-hal tersebut maka jangan salahkan kalau siswa-siswinya juga jadi bosen dalam kelas online. Terus kalau kelas diikuti oleh siswa-siswi yang minat belajarnya turun drastis, maka bisa jadi kelas itu jadi tidak interaktif. 

Dan…

Hasil evaluasi pembelajaran online akhir tahun kemarin jangan kaget kalau pembelajaran online dianggap tidak efektif. Karena ada beberapa hal, yang awal mulanya dari guru. Apakah gurunya mempunyai minat untuk menjalankan kelas online? Bila jawabannya tidak makanya akan menimbulkan serangkaian yang menyudutkan bahwa belajar online tidak efektif, efisien dan “jelek”.

Saat sekarang ini diawal tahun 2022 memasuki semester 2 menjadikan kesempatan untuk kembali sekolah secara OFFLINE. Kesempatan yang tidak akan disia-siakan bagi yang kemarin-kemarin tidak senang melakukan pembelajaran online.

Apakah kita akan meninggalkan semua yang serba online?
Apakah digitalisasi sekolah hanya akan jadi dongeng masa kini dan akan datang?
Apakah kita kembali ke jaman kelas penuh dengan debu kapur tulis?

Tentu pilihan ada di semua pihak, orang tua, anak murid, guru, staf, wakil kepala sekolah dan kepala sekolah. Termasuk pihak-pihak terkait lainnya.