Potensi Korupsi di Sekolah dan Dinas

"Di sekolah rawan terjadi korupsi karena kini sekolah mengelola langsung dana alokasi khusus (DAK). DAK bidang pendidikan ditransfer dari pemerintah pusat ke rekening sekolah."

"Di sekolah rawan terjadi korupsi karena kini sekolah mengelola langsung dana alokasi khusus (DAK). DAK bidang pendidikan ditransfer dari pemerintah pusat ke rekening sekolah."

"Di sekolah rawan terjadi korupsi karena kini sekolah mengelola langsung dana alokasi khusus (DAK). DAK bidang pendidikan ditransfer dari pemerintah pusat ke rekening sekolah."

JAKARTA, KOMPAS — Sekolah dan dinas pendidikan menjadi lahan subur praktik korupsi di sektor pendidikan. Besarnya alokasi anggaran di sektor pendidikan dan lemahnya pengawasan merupakan faktor krusial penyebab kedua institusi itu mempunyai potensi besar sebagai tempat terjadinya korupsi.

Sekretaris Dinas Pendidikan Jawa Barat Karyono mengungkapkan, di sekolah rawan terjadi korupsi karena kini sekolah mengelola langsung dana alokasi khusus (DAK). DAK bidang pendidikan ditransfer dari pemerintah pusat ke rekening sekolah.

”Kerawanan lebih tinggi pada DAK untuk perbaikan atau pembangunan kelas baru di sekolah,” kata Karyono di Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (18/5). Menurut dia, pemerintah pusat seharusnya menugaskan dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota untuk mengawasi penyaluran dan pengelolaan DAK di sekolah-sekolah.

 

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah Nur Hadi Amiyanto, satu-satunya cara agar tidak tersangkut korupsi, kepala sekolah harus mengedepankan sikap taat asas. Celakanya, sikap ini kadang-kadang sulit dipraktikan. ”Taat asas adalah bekerja sesuai aturan. Soal taat asas ini mungkin sepele, tetapi kadang-kadang implementasinya di lapangan sulit karena dinas pendidikan tak bebas mengintervensi,” ujarnya.

10 tahun

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2006-2015 tercatat 425 kasus korupsi terjadi di sektor pendidikan dengan jumlah tersangka 618 orang. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi selama 10 tahun terakhir itu mencapai Rp 1,3 triliun.

ICW menemukan praktik korupsi banyak terjadi di dinas pendidikan, sekolah, perguruan tinggi, pemerintah kota/kabupaten, serta pemerintah provinsi. Para tersangka memiliki posisi atau jabatan yang beragam, seperti kepala dinas, kepala sekolah, pegawai dinas pendidikan, bendahara, serta pengusaha atau rekanan.

Dana yang paling rentan dikorupsi pada sektor pendidikan, menurut ICW, adalah DAK. Korupsi juga terjadi pada dana bantuan operasional sekolah (BOS) (Kompas, 18 Mei 2016).

”Dinamika politik”

Menurut Nur Hadi, banyak pejabat dan kepala sekolah kini mulai bisa menerapkan taat asas, yakni dengan melakukan pengadaan DAK lewat mekanisme pelelangan, mulai dari pengadaan buku sampai pengadaan kelengkapan fasilitas penunjang.

Meski demikian, menurut dia, taat asas bisa tidak terjadi manakala ”dinamika politik” di pemerintah daerah sangat tinggi. Jika bekerja dengan benar, bisa saja pengelola sekolah malah kehilangan jabatannya.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hamid Muhammad mengatakan, guna mengawal penggunaan DAK, Kemdikbud menerbitkan petunjuk teknis penggunaan dana untuk kegiatan fisik dan nonfisik; melakukan pengawasan bersama antara Inspektorat Jenderal Kemdikbud, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan inspektorat provinsi; serta memantau dan mengevaluasi penggunaan anggaran secara daring. Saat ini, baru 50 persen SD, 80 persen SMP, serta 32 persen SMA/SMK yang melaporkan penggunaan dana.

Para pejabat dinas pendidikan tidak luput berpotensi besar tersandung perkara korupsi. Mereka mengelola dana yang besar, tetapi tidak diikuti kemampuan yang memadai untuk menyusun anggaran.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara Arsyad Lubis mengatakan, mengingat anggaran yang dikelola dinas pendidikan sangat besar dan meliputi kegiatan yang sangat beragam, pengelola harus memahami dengan baik pengetahuan tentang penganggaran. ”Orang yang mengelola harus diberikan pengetahuan atau pelatihan agar memiliki kompetensi untuk mengelola anggaran,” ujarnya.

Berdasarkan data pada Neraca Pendidikan Daerah Sumatera Utara 2015 yang diolah Kemdikbud, provinsi ini memiliki anggaran pendidikan Rp 223 miliar dari total APBD Rp 8,68 triliun. Jumlah dana pendidikan itu setara dengan 2,57 persen APBD Sumut.

Dana BOS

Ketua Umum Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia Cucu Saputra menjelaskan, penggunaan dana BOS bersifat tegas. Pertanggungjawabannya dilakukan melalui proposal dan laporan yang ditujukan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota dan provinsi, serta inspektorat daerah. ”Semua jenis program, kegiatan, dan rencana harus dituangkan terperinci setiap semester. BOS tidak akan diturunkan pada semester berikutnya apabila laporan dari semester sekarang belum disetujui pihak pemeriksa,” ujarnya.

Di sisi lain, pencairan dana BOS secara ketat dapat menjadi kendala besar. Dalam perjalanan pelaksanaan pendidikan, kadang-kadang muncul persoalan yang perlu direspons dengan dana BOS. Sayangnya, perubahan di tengah jalan tak bisa dilakukan karena pencairan dan pertanggungjawaban BOS sangat tegas.

Kepala SDN Sumbergondo 2 di Batu, Jawa Timur, Sri Winarni mengatakan, pembuatan proposal BOS mengacu pada petunjuk teknis Kemdikbud. Kepala sekolah bersama guru dan komite sekolah menentukan hal-hal yang diprioritaskan. Apabila di tengah jalan muncul kebutuhan mendadak, seperti peralatan sekolah tiba-tiba rusak, kebutuhan dana harus ditalangi terlebih dahulu menggunakan uang pribadi kepala sekolah dan guru. ”Ganti rugi dimasukkan ke proposal BOS semester berikutnya, dilengkapi kuitansi,” katanya.

Penyimpangan BOS, menurut Kepala Inspektorat Kabupaten Temanggung, Jateng, Cuk Sugiyarso, merupakan kasus penyimpangan anggaran yang kerap terjadi. Namun, pelakunya tidak diproses hukum. ”Kami bukan penegak hukum sehingga hanya merespons kasus itu dengan melakukan pembinaan ke sekolah-sekolah,” ujarnya.

Penulis: kompas.com